Andaikan, Ayah dan Ibu berpuisi
Prosa Prosa LirisSepasang manusia yang wajahnya tetap kulihat meskipun aku sedang memejamkan mata. Dari mereka, mengalir darah-darah yang membuatku hidup. Juga, untaian kromosom yang mereka wariskan, menjadikan aku sebagai eksistensi yang tunggal. Yang berbeda dari yang lain, saudaraku, temanku, tetanggaku, mereka tidak memiliki sepasang bola mata, yang aku dapatkan dari pada ayah dan Ibuku.
Mula-mula mereka mengajariku mengenali benda-benda, dari nama-nama sampai asal-usulnya. Kemudian, aku diajak menyusuri huruf-huruf, dari A sampai Z, hingga aku bisa membaca. Mereka juga menuntunku pelan-pelan sampai aku dapat mengucapkan kata-kata dan kalimat, sebagai modalku untuk berbicara dan berucap. Sampai situ saja, mereka tidak meneruskannya. Karena kata mereka, paragraf dan esai-esai panjang, adalah tugas sekolah dan guru-guru untuk melanjutkannya.
Kemudian aku bersekolah. Mengenali banyak bacaan, esai, bunyi-bunyi sastra dan karangan. Bermacam-macam dialog diperkenalkan. Guru bahasa di sekolah mengajariku menulis dialog panjang, namun ketika sampai di rumah, dialog itu memendek. Sebab tidak pernah kupraktikan bersama ayah dan Ibuku.
Di rumah, Ibu hanya berkata:
"jangan pulang malam-malam",
"jangan kebut-kebutan di jalan ",
"jangan main jauh-jauh",
"jangan jadi bandar narkoba",
dan "jangan-jangan lainnya"
Sementara ayah, dia pun hanya berkata:
"harus jadi anak yang sukses",
"harus bisa bikin bapak dan Ibu bangga",
"harus sekolah tinggi-tinggi",
"harus ini, harus itu",
Dan harus-harus yang lainnya.
Bahasa Indonesia, adalah bahasa yang kaya. Begitu kata guruku di sekolah. Namun ayah dan Ibu miskin kosa-kata, mereka hanya kenal dengan kata "Harus dan Jangan". Padahal sesekali juga, kerap kudengar bahwa "jangannya" Ibu berbenturan dengan "harusnya" ayah.
Tetapi kemudian di sekolah aku belajar puisi. Sebuah bait-bait yang merepresentasikan pengalaman panjang manusia. Keindahan dalam suatu waktu, bisa di wakilkan oleh satu baris. Kesakitan dan perih yang tak berujung bisa diselipkan dalam satu sajak, dunia dan semesta yang luas bisa dipetakan ke dalam satu kata bermajas. Begitulah puisi kata guruku.
Puisi tidak perlu panjang-panjang. Puisi bisa dicicil pelan-pelan dan berangsur-angsur. Berbeda dengan novel dan karangan yang bisa selesai dalam satu buku. Sebuah puisi, yang hanya setengah halaman bisa menjadi naskah yang tetap mengalir sepanjang waktu.
Puisi adalah rumah dari kata-kata panjang, yang berkumpul dalam satu tempat, untuk bermusyawarah dan memutuskan mengenai bunyi seperti apa yang mampu mewakili kisah mereka.
Aku menduga, bahwa selama ini ayah dan Ibu itu sedang berpuisi. Saat Ibu berkata jangan pulang malam-malam, barangkali itu adalah sajak yang bunyi lengkapnya jika ditafsirkan adalah:
jangan pulang malam-malam
sebab malam adalah waktu yang kelam
beberapa Ibu kehilangan anaknya ketika malam
aku tidak ingin menjadi Ibu yang seperti itu
atau, ketika Ibu berkata jangan main jauh-jauh, sebenarnya Ia hendak berbisik:
jangan main jauh-jauh
aku dan pelukku ingin dekat denganmu
meskipun kini engkau sudah tumbuh dan besar
aku tetap ingin menggendongmu
dalam pelukan hangat
yang aku khawatir engkau sudah lupa
jangan main jauh-jauh
jika main jauh-jauh
ajaklah aku
Begitulah, begitulah kuduga Ibu. Ia hendak mengatakan itu, tetapi ia tidak bisa. Sebab mungkin Ia tidak pernah diajari oleh gurunya, ketika Ia bersekolah.
Sementara ayah?. Ayah sangat sering berkata, "kamu harus sekolah yang tinggi ya". Sebuah kalimat suruhan yang membebani pundak dan kepalaku setiap hari. Namun kiranya, dewasa ini kusadari, seperti inilah yang ingin ayah ucapkan.
Nak, kamu harus sekolah tinggi-tinggi
supaya orang-orang tidak merendahkan kita lagi
belajarlah dengan giat dan tekun
sebab menjadi bodoh seperti ayah
adalah hal keji dan memalukan
Nak, sekolahlah tinggi-tinggi
agar bintang di langit bisa kau pijak
dan matahari bisa kau genggam
Nak, sekolah tinggi-tinggi itu
seperti apa rasanya?
Mungkin, selama ini mereka ingin menyiratkan hal yang demikian. Tetapi, mereka bukanlah seorang penyair. Kata-kata mereka tidaklah indah secara eksplisit. Tugas kita adalah menafsirkannya. Menafsirkan dengan bias dan asumsi, bahwa mereka menyayangi, namun payah dalam berkata-kata.
Betapa malangnya ayah dan Ibu. Mereka tidak bisa mengatakannya, sebab tidak pernah diajari untuk bisa mengatakannya. Suara mereka tertahan pada kata "harus" dan "jangan". Suatu hari, aku ingin berteman dengan mereka, dan membatunya agar bisa mengungkapkan segalanya.